Oleh Dr. Zaim Elmubarok, S.Ag, M.Ag
Di suatu hari Nabi sedang duduk
di Masjid bersama para sahabatnya. Tiba-tiba Nabi berseru, "akan datang
penghuni surga." Serentak para sahabat memandang ke arah pintu. Ternyata
datanglah seorang sahabat yang memberi salam pada mejelis Nabi lalu shalat.
Keesokan harinya lagi, pada
sitausi yang sama, Rasul berseru, "Akan datang penghuni surga."
Tiba-tiba hadir dari arah pintu sahabat yang kemaren juga digelari Rasul
penghuni surga.
Selepas bubarnya mejelis Nabi,
seorang sahabat mengejar "penghuni surga" tersebut. Ia berkata,
"maafkan saya wahai saudaraku. Aku bertengkar dengan keluargaku bolehkah
aku barang satu-dua hari menginap di rumahmu?"
"Penghuni surga" ini lalu berkata, "baiklah..." Satu
hari berlalu, dua hari berlalu dan tiga hari pun berlalu. Akhirnya sahabat ini
tak tahan dan berkata pada "penghuni surga". "Wahai saudaraku
sebenarnya aku telah berbohon padamu. Aku tak bertengkar dengan keluargaku. Aku
bermalam di rumahmu untuk melihat apa amalanmu karena aku mendengar rasul
menyebutmu penghuni surga. Tapi setelah aku perhatikan amalan mu sama
dengan apa yang aku kerjakan. Aku jadi tak mengerti....."
"Penghuni surga" itu
menjawab, "maafkan aku, memang inilah aku! Ibadah yang aku jalankan tidak
kurang- tidak lebih sebagaimana yang engkau saksikan selama tiga hari ini. Aku
tak tahu mengapa Rasul menyebutku "penghuni surga".
Sahabat itu lalu pergi
meninggalkan "penghuni surga". Tiba-tiba "penghuni surga" itu memanggil sahabat tersebut.
"Saudaraku, aku jadi teringat sesuatu. Aku tak pernah dengki pada sesama muslim.
Mungkin ini......"
Sahabat tersebut langsung berseru, "ini dia yang membedakan engkau
dengan kami. Ini dia rahasianya mengapa Rasul menyebutmu penghuni surga. Ini
yang tak dapat kami lakukan."
Ternyata, soal dengki ini bukan persoalan sepele. Ada seorang tukang sate
di tempat saya. Alhamdulillah satenya yang memang empuk itu laris bukan main.
Tetangganya mulai mencibir dan menuduh si Tukang sate memelihara tuyul. Ketika
anak si Tukang Sate kecelakaan, lagi-lagi tetangganya mencibir, "rasakan!
itulah tumbal akibat main tuyul!"
Lihatlah kita. Apakah kita
bertingkah laku persis tetangga Tukang Sate tersebut? Kita tak rela kalau
saudara kita memiliki nilai "lebih" di mata kita. Repotnya, rumput
tetangga itu biasanya terlihat lebih "hijau" dibanding rumput kita.
Kita dengki dengan keberhasilan saudara kita.
Ada seorang wanita karir yang
berhasil. Karena beban kerjanya dia sering kerja lembur sampai baru pulang saat
larut malam. Tetangganya menuduh ia wanita jalang. Ketika dari hasil jerih
payahnya ia mampu membeli mobil, tetangganya ribut lagi, kali ini ia disebut
"simpanan seorang bos".
Masya Allah! Bukannya belajar
dari keberhasilan saudara kita tersebut, kita malah mencibir dan menuduhnya
yang bukan-bukan.
Dengki adalah persoalan hati. Dari
dengki biasanya lahir buruk sangka, kemudian dari buruk sangka biasanya lahir
fitnah dan tuduhan, untuk menyebarkan fitnah ini kita bergosip kemana-mana
sambil menggunjingkan perilaku orang tersebut.
Lihatlah, bermula dari dengki kemudian menyusul perbuatan dosa yang
lain!
Sulit sekali menghilangkan rasa dengki tersebut. Untuk itu marilah kita
minta perlindungan-Nya:
"Ya Tuhan kami, beri
ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari
kami dan janganlah Engkau membiarkan KEDENGKIAN dalam hati kami terhadap
orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun
lagi Maha Penyayang." (QS 59:10)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar