Oleh Dr. Zaim Elmubarok, S.Ag, M.Ag
Setelah Nabi wafat, seketika itu
pula kota Madinah bising dengan tangisan ummat Islam; antara percaya - tidak
percaya, Rasul Yang Mulia telah meninggalkan para sahabat. Beberapa waktu
kemudian, seorang arab badui menemui Umar dan dia meminta, "ceritakan
padaku akhlak Muhammad". Umar menangis mendengar permintaan itu. Ia tak
sanggup berkata apa-apa. Ia menyuruh Arab badui tersebut menemui Bilal. Setelah
ditemui dan diajukan permintaan yg sama, Bilal pun menangis, ia tak sanggup
menceritakan apapun. Bilal hanya dapat menyuruh orang tersebut menjumpai Ali
bin Abi Thalib.
Orang Badui ini mulai heran. Bukankah Umar merupakan seorang sahabat senior
Nabi, begitu pula Bilal, bukankah ia merupakan sahabat setia Nabi. Mengapa
mereka tak sanggup menceritakan akhlak Muhammad. Dengan berharap-harap cemas,
Badui ini menemui Ali. Ali dengan linangan air mata berkata, "ceritakan
padaku keindahan dunia ini!." Badui ini menjawab, "bagaimana mungkin
aku dapat menceritakan segala keindahan dunia ini..." Ali menjawab,
"engkau tak sanggup menceritakan keindahan dunia padahal Allah telah
berfirman bahwa sungguh dunia ini kecil dan hanyalah senda gurau belaka, lalu
bagaimana aku dapat melukiskan akhlak Muhammad, sedangkan Allah telah berfirman
bahwa sungguh Muhammad memiliki budi pekerti yang agung! (QS. Al-Qalam[68]:
4)"
Badui ini lalu menemui Siti Aisyah r.a. Isteri Nabi yang sering disapa
"Khumairah" oleh Nabi ini hanya menjawab, khuluquhu al-Qur'an
(Akhlaknya Muhammad itu Al-Qur'an). Seakan-akan Aisyah ingin mengatakan bahwa
Nabi itu bagaikan Al-Qur'an berjalan. Badui ini tidak puas, bagaimana bisa ia
segera menangkap akhlak Nabi kalau ia harus melihat ke seluruh kandungan
Qur'an. Aisyah akhirnya menyarankan Badui ini untuk membaca dan menyimak QS
Al-Mu'minun[23]: 1-11.Bagi para sahabat, masing-masing memiliki kesan
tersendiri dari pergaulannya dengan Nabi. Kalau mereka diminta menjelaskan
seluruh akhlak Nabi, linangan air mata-lah jawabannya, karena mereka terkenang
akan junjungan mereka. Paling-paling mereka hanya mampu menceritakan
satu fragmen yang paling indah dan berkesan dalam interaksi mereka dengan Nabi
terakhir ini.
Mari kita kembali ke Aisyah.
Ketika ditanya, bagaimana perilaku Nabi, Aisyah hanya menjawab, "ah semua
perilakunya indah." ketika didesak lagi, Aisyah baru bercerita saat
terindah baginya, sebagai seorang isteri. "Ketika aku sudah berada di
tempat tidur dan kami sudah masuk dalam selimut, dan kulit kami sudah
bersentuhan, suamiku berkata, ÔYa Aisyah, izinkan aku untuk menghadap Tuhanku
terlebih dahulu.' Apalagi yang dapat lebih membahagiakan seorang isteri, karena
dalam sejumput episode tersebut terkumpul kasih sayang, kebersamaan, perhatian
dan rasa hormat dari seorang suami, yang juga seorang utusan Allah.
Nabi Muhammad jugalah yang
membikin khawatir hati Aisyah ketika menjelang subuh Aisyah tidak mendapati
suaminya disampingnya. Aisyah keluar membuka pintu rumah. terkejut ia bukan
kepalang, melihat suaminya tidur di depan pintu. Aisyah berkata, "mengapa
engkau tidur di sini." Nabi Muhammmad menjawab, "aku pulang sudah
larut malam, aku khawatir mengganggu tidurmu sehingga aku tidak mengetuk pintu.
itulah sebabnya aku tidur di depan pintu." Mari berkaca di diri kita
masing-masing. Bagaimana perilaku kita terhadap isteri kita? Nabi mengingatkan,
"berhati-hatilah kamu terhadap isterimu, karena sungguh kamu akan ditanya
di hari akhir tentangnya." Para sahabat pada masa Nabi memperlakukan
isteri mereka dengan hormat, mereka takut kalau wahyu turun dan mengecam
mereka.
Buat sahabat yang lain, fragmen
yang paling indah ketika sahabat tersebut terlambat datang ke Majelis Nabi.
Tempat sudah penuh sesak. Ia minta izin untuk mendapat tempat, namun sahabat
yang lain tak ada yang mau memberinya tempat. Di tengah kebingungannya, Rasul
memanggilnya. Rasul memintanya duduk di dekatnya. Tidak cukup dengan itu, Rasul
pun melipat sorbannya lalu diberikan pada sahabat tersebut untuk dijadikan alas
tempat duduk. Sahabat tersebut dengan berlinangan air mata, menerima sorban
tersebut namun tidak menjadikannya alas duduk akan tetapi mencium sorban Nabi.
Senangkah kita kalau orang yang
kita hormati, pemimpin yang kita junjung tiba-tiba melayani kita bahkan
memberikan sorbannya untuk tempat alas duduk kita. Bukankah kalau mendapat
kartu lebaran dari seorang pejabat saja kita sangat bersuka cita. Begitulah
akhlak Nabi, sebagai pemimpin ia ingin menyenangkan dan melayani bawahannya.
Dan tengoklah diri kita. Kita adalah pemimpin, bahkan untuk lingkup paling
kecil sekalipun, sudahkah kita meniru akhlak Rasul Yang Mulia.Nabi Muhammad
juga terkenal suka memuji sahabatnya. Kalau kita baca kitab-kitab hadis, kita
akan kebingungan menentukan siapa sahabat yang paling utama. Terhadap Abu
Bakar, Rasul selalu memujinya. Abu Bakar-lah yang menemani Rasul ketika hijrah.
Abu Bakarlah yang diminta menjadi Imam ketika Rasul sakit. Tentang Umar, Rasul
pernah berkata, "syetan saja takut dengan Umar, bila Umar lewat jalan yang
satu, maka Syetan lewat jalan yang lain." Dalam riwayat lain disebutkan,
"Nabi bermimpi meminum susu. Belum habis satu gelas, Nabi memberikannya
pada Umar yang meminumnya sampai habis. Para sahabat bertanya, Ya Rasul apa
maksud (ta'wil) mimpimu itu? Rasul menjawab ilmu pengetahuan."
Tentang Utsman, Rasul sangat
menghargai Ustman karena itu Utsman menikahi dua putri nabi, hingga Utsman
dijuluki dzu an-Nurain (pemilik dua cahaya). Mengenai Ali, Rasul bukan saja
menjadikannya ia menantu, tetapi banyak sekali riwayat yang menyebutkan
keutamaan Ali. "Aku ini kota ilmu, dan Ali adalah pintunya."
"barang siapa membenci Ali, maka ia merupakan orang munafik."Lihatlah
diri kita sekarang. Bukankah jika ada seorang rekan yang punya sembilan
kelebihan dan satu kekurangan, maka kita jauh lebih tertarik berjam-jam untuk
membicarakan yang satu itu dan melupakan yang sembilan. Ah...ternyata kita
belum suka memuji; kita masih suka mencela. Ternyata kita belum mengikuti
sunnah Nabi.
Saya pernah mendengar ada
seorang ulama yang mengatakan bahwa Allah pun sangat menghormati Nabi Muhammad.
Buktinya, dalam Al-Qur'an Allah memanggil para Nabi dengan sebutan nama: Musa,
Ayyub, Zakaria, dll. tetapi ketika memanggil Nabi Muhammad, Allah menyapanya
dengan "Wahai Nabi". Ternyata Allah saja sangat menghormati
beliau.Para sahabatpun ditegur oleh Allah ketika mereka berlaku tak sopan pada
Nabi. Alkisah, rombongan Bani Tamim menghadap rasul. Mereka ingin Rasul
menunjuk pemimpin buat mereka. Sebelum Nabi memutuskan siapa, Abu Bakar
berkata: "Angkat Al-Qa'qa bin Ma'bad sebagai pemimpin." Kata Umar,
"Tidak, angkatlah Al-Aqra' bin Habis." Abu Bakar berkata ke Umar,
"Kamu hanya ingin membantah aku saja," Umar menjawab, "Aku tidak
bermaksud membantahmu." Keduanya berbantahan sehingga suara mereka
terdengar makin keras. Waktu itu turunlah ayat: "Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya. Takutlah kamu kepada
Allah. Sesungguhnya Allah maha Mendengar dan maha Mengetahui. Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu menaikkan suaramu di atas suara Nabi. janganlah
kamu mengeraskan suara kamu dalam percakapan dengan dia seperti mengeraskan
suara kamu ketika bercakap sesama kamu. Nanti hapus amal-amal kamu dan kamu
tidak menyadarinya (al-hujurat 1-2)
Setelah mendengar teguran itu
Abu Bakar berkata, "Ya Rasul Allah, demi Allah, sejak sekarang aku tidak
akan berbicara denganmu kecuali seperti seorang saudara yang membisikkan
rahasia." Umar juga berbicara kepada Nabi dengan suara yang lembut. Bahkan
konon kabarnya setelah peristiwa itu Umar banyak sekali bersedekah, karena
takut amal yang lalu telah terhapus. Para sahabat Nabi takut akan terhapus amal
mereka karena melanggar etiket berhadapan dengan Nabi.Dalam satu kesempatan
lain, ketika di Mekkah, Nabi didatangi utusan pembesar Quraisy, Utbah bin
Rabi'ah. Ia berkata pada Nabi, "Wahai kemenakanku, kau datang membawa
agama baru, apa yang sebetulnya kau kehendaki. Jika kau kehendaki harta, akan kami
kumpulkan kekayaan kami, Jika Kau inginkan kemuliaan akan kami muliakan engkau.
Jika ada sesuatu penyakit yang dideritamu, akan kami carikan obat. Jika kau
inginkan kekuasaan, biar kami jadikan engkau penguasa kami"
Nabi mendengar dengan sabar
uraian tokoh musyrik ini. Tidak sekalipun beliau membantah atau memotong
pembicaraannya. Ketika Utbah berhenti, Nabi bertanya, "Sudah selesaikah,
Ya Abal Walid?" "Sudah." kata Utbah. Nabi membalas ucapan utbah
dengan membaca surat Fushilat. Ketika sampai pada ayat sajdah, Nabi bersujud.
Sementara itu Utbah duduk mendengarkan Nabi sampai menyelesaikan
bacaannya.Peristiwa ini sudah lewat ratusan tahun lalu. Kita tidak heran
bagaimana Nabi dengan sabar mendegarkan pendapat dan usul Utbah, tokoh musyrik.
Kita mengenal akhlak nabi dalam menghormati pendapat orang lain. Inilah akhlak
Nabi dalam majelis ilmu. Yang menakjubkan adalah perilaku kita sekarang. Bahkan
oleh si Utbbah, si musyrik, kita kalah. Utbah mau mendengarkan Nabi dan
menyuruh kaumnya membiarkan Nabi berbicara. Jangankan mendengarkan pendapat
orang kafir, kita bahkan tidak mau mendengarkan pendapat saudara kita sesama
muslim. Dalam pengajian, suara pembicara kadang-kadang tertutup suara obrolan
kita. Masya Allah!
Ketika Nabi tiba di Madinah
dalam episode hijrah, ada utusan kafir Mekkah yang meminta janji Nabi bahwa
Nabi akan mengembalikan siapapun yang pergi ke Madinah setelah perginya N abi.
Selang beberapa waktu kemudian. Seorang sahabat rupanya tertinggal di belakang
Nabi. Sahabat ini meninggalkan isterinya, anaknya dan hartanya. Dengan
terengah-engah menembus padang pasir, akhirnya ia sampai di Madinah. Dengan
perasaan haru ia segera menemui Nabi dan melaporkan kedatangannya. Apa jawab
Nabi? "Kembalilah engkau ke Mekkah. Sungguh aku telah terikat perjanjian.
Semoga Allah melindungimu." Sahabat ini menangis keras. Bagi Nabi janji
adalah suatu yang sangat agung. Meskipun Nabi merasakan bagaimana besarnya
pengorbanan sahabat ini untuk berhijrah, bagi Nabi janji adalah janji; bahkan
meskipun janji itu diucapkan kepada orang kafir. Bagaimana kita memandang harga
suatu janji, merupakan salah satu bentuk jawaban bagaimana perilaku Nabi telah
menyerap di sanubari kita atau tidak.
Dalam suatu kesempatan menjelang
akhir hayatnya, Nabi berkata pada para sahabat, "Mungkin sebentar lagi
Allah akan memanggilku, aku tak ingin di padang mahsyar nanti ada diantara
kalian yang ingin menuntut balas karena perbuatanku pada kalian. Bila ada yang
keberatan dengan perbuatanku pada kalian, ucapkanlah!" Sahabat yang lain terdiam,
namun ada seorang sahabat yang tiba-tiba bangkit dan berkata, "Dahulu
ketika engkau memeriksa barisa di saat ingin pergi perang, kau meluruskan
posisi aku dengan tongkatmu. Aku tak tahu apakah engkau sengaja atau tidak,
tapi aku ingin menuntut qishash hari ini." Para sahabat lain terpana,
tidak menyangka ada yang berani berkata seperti itu. Kabarnya Umar langsung
berdiri dan siap "membereskan" orang itu. Nabi melarangnya. Nabi pun menyuruh Bilal
mengambil tongkat ke rumah Nabi. Siti Aisyah yang berada di rumah Nabi
keheranan ketika Nabi meminta tongkat. Setelah Bilal menjelaskan peristiwa yang
terjadi, Aisyah pun semakin heran, mengapa ada sahabat yang berani berbuat
senekad itu setelah semua yang Rasul berikan pada mereka.
Rasul memberikan tongkat tersebut pada sahabat itu seraya menyingkapkan
bajunya, sehingga terlihatlah perut Nabi. Nabi berkata, "lakukanlah!"
Detik-detik berikutnya menjadi sangat menegangkan. Tetapi terjadi suatu
keanehan. Sahabat tersebut malah menciumi perut Nabi dan memeluk Nabi seraya
menangis, "Sungguh maksud tujuanku hanyalah untuk memelukmu dan merasakan
kulitku bersentuhan dengan tubuhmu!. Aku ikhlas atas semua perilakumu wahai
Rasulullah." Seketika itu juga terdengar ucapan, "Allahu Akbar"
berkali-kali. sahabat tersebut tahu, bahwa permintaan Nabi itu tidak mungkin
diucapkan kalau Nabi tidak merasa bahwa ajalnya semakin dekat. Sahabat itu tahu
bahwa saat perpisahan semakin dekat, ia ingin memeluk Nabi sebelum Allah
memanggil Nabi.
Suatu pelajaran lagi buat kita. Menyakiti orang lain baik hati maupun
badannya merupakan perbuatan yang amat tercela. Allah tidak akan memaafkan
sebelum yang kita sakiti memaafkan kita. Rasul pun sangat hati-hati karena
khawatir ada orang yang beliau sakiti. Khawatirkah kita bila ada orang yang
kita sakiti menuntut balas nanti di padang Mahsyar di depan Hakim Yang Maha
Agung ditengah miliaran umat manusia. Jangan-jangan kita menjadi orang yang
muflis. Na'udzu billah.....
Nabi Muhammad ketika saat haji Wada', di padang Arafah yang terik, dalam
keadaan sakit, masih menyempatkan diri berpidato. Di akhir pidatonya itu Nabi
dengan dibalut sorban dan tubuh yang menggigil berkata, "Nanti di hari
pembalasan, kalian akan ditanya oleh Allah apa yang telah aku, sebagai Nabi,
perbuat pada kalian. Jika kalian ditanya nanti, apa jawaban kalian?" Para
sahabat terdiam dan mulai banyak yang meneteskan air mata. Nabi melanjutkan,
"Bukankah telah kujalani hari-hari bersama kalian dengan lapar, bukankah
telah kutaruh beberapa batu diperutku karena menahan lapar bersama kalian,
bukankah aku telah bersabar menghadapi kejahilan kalian, bukankah telah ku
sampaikan pada kalian wahyu dari Allah.....?" Untuk semua pertanyaan itu,
para sahabat menjawab, "benar ya Rasul!"
Rasul pun mendongakkan kepalanya ke atas, dan berkata, "Ya Allah
saksikanlah...Ya Allah saksikanlah...Ya Allah saksikanlah!". Nabi meminta
kesaksian Allah bahwa Nabi telah menjalankan tugasnya. Di pengajian ini saya
pun meminta Allah menyaksikan bahwa kita mencintai Rasulullah."Ya Allah
saksikanlah betapa kami mencintai Rasul-Mu, betapa kami sangat ingin bertemu
dengan kekasih-Mu, betapa kami sangat ingin meniru semua perilakunya yang
indah; semua budi pekertinya yang agung, betapa kami sangat ingin dibangkitkan
nanti di padang Mahsyar bersama Nabiyullah Muhammad, betapa kami sangat ingin
ditempatkan di dalam surga yang sama dengan surganya Nabi kami. Ya Allah
saksikanlah...Ya Allah saksikanlah Ya Allah saksikanlah"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar