Seorang Raja mengumumkan sayembara:"Barangsiapa yang sanggup berendam
di kolam kerajaan sepanjang malam akan dihadiahi pundi-pundi emas."
Sayembara ini sepintas terlihat mudah, namun berendam di kolam pada saat musim
dingin tentu bukan perkara mudah. Walhasil, tak ada yang berani mencobanya.
Seorang miksin dari pelosok pedesaan, karena tak tahan dengan tangisan
kelaparan anaknya, memberanikan diri mengikuti sayembara itu. Pundi-pundi emas
membayang di pelupuk matanya. Bayangan itulah yang mendorong dia akhirnya
berangkat ke istana. Raja mempersilahkan dia masuk ke kolam istana. Sekejap
saja orang miskin ini masuk ke dalamnya, ia langsung menggigil kedinginan. Giginya
saling beradu, mukanya mendadak pucat dan tubuhnya perlahan meringkuk.
Tiba-tiba ia melihat nyala api
dari salah satu ruang istana. Segera saja ia bayangkan dirinya berada dekat
perapian itu; ia bayangkan betapa nikmatnya duduk di ruangan itu. Mendadak rasa
dingin di tubuhnya, menjadi hilang. Kekuatan imajinasi membuatnya mampu
bertahan. Perlahan bayang-bayang pundi emas kembali melintas. Harapannya
kembali tumbuh.
Keesokan harinya, Raja dengan
takjub mendapati si miskin masih berada di kolam istana. Si miskin telah
memenangkan sayembara itu. Raja penasaran dan bertanya "rahasia"
kekuatan si miskin. Dengan mantap si miskin bercerita bahwa ia mampu bertahan
karena membayangkan nikmatnya berada di dekat perapian yang ia lihat di sebuah
ruangan istana.
Lama sudah waktu berjalan sejak
saya baca kisah di atas sewaktu masih di Sekolah Dasar. Namun baru belakangan
saya menyadari kiasan dari cerita itu. Imajinasi dan harapan akan kehidupan
yang lebih baik telah menjadi semacam stimulus untuk kita bisa bertahan.
Ketika krisis ekonomi menghadang
negara kita, sekelompok orang menjadi panik tak karuan. Apa saja dilakukan
mereka untuk mempertahankan kenikmatan hidup. Mulai dari menjadi spekulan mata
uang, menimbun barang, menjilat penguasa dan meniupkan isu kemana-mana. Norma
agama telah dilanggar untuk kepentingan duniawi belaka. Akan tetapi, segelintir
orang tetap tenang karena sudah lama badan mereka di "bumi" namun
jiwa mereka di "langit".
Kelompok terakhir ini
membayangkan bagaimana nikmatnya hidup di "kampung akherat" nanti,
sebagaimana yang telah dijanjikan Allah. "Pundi-pundi kasih sayang
ilahi" membayang dipelupuk mata mereka.
Bagaikan si miskin yang tubuhnya
berada di dasar kolam, namun jiwanya berada di dekat perapian; bayangan
"kampung akherat" membuat mereka tenang dan tidak mau melanggar norma
agama. Bagaikan kisah si miskin di atas, boleh jadi Raja akan takjub mendapati
mereka yang bisa bertahan di tengah krisis ini, tanpa harus menjilat kepada
istana (apalagi bila jilatan itu dibumbui sejumput ayat dan hadis)
Ada seorang muslim yang tengah
berpuasa, rekan bulenya yang tinggal satu flat berulang kali mengetok pintu
kamar hanya untuk memastikan apakah si muslim masih hidup atau tidak. Orang
bule itu tak habis pikir bagaimana si muslim bisa bertahan hidup dan tetap
beraktifitas tanpa makan-minum selama lebih dari 12 jam. Rindu "kampung
akherat" menjadi jawabannya.
Sama dengan herannya seorang
rekan mendapati seorang muslimah di tengah musim panas (summer) tetap
beraktifitas sambil memakai jilbab. Ketika ada yang bertanya, "apa tidak
kepanasan?" Muslimah tersebut menjawab sambil tersenyum, "lebih panas
mana dengan api neraka?"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar