Oleh Dr Zaim Elmubarok S.Ag, M.Ag
Umar bin Khatab terkenal sebagai
khalifah yang suka berjalan di tengah malam untuk mengontrol keadaan rakyatnya.
Di suatu malam, Umar mendengar suara seorang laki-laki dalam sebuah rumah yang
sedang tertawa asyik ditingkahi gelegak tawa wanita.
Umar mengintip, lalu memanjat
jendela dan masuk ke rumah tersebut seraya menghardik, "hai hamba Allah!
apakah kamu mengira Allah akan menutup aibmu padahal kamu berbuat
maksiat!!!"
Orang tua itu menjawab dengan
tenang, "Jangan terburu-buru ya Umar, saya boleh jadi melakukan satu
kesalahan tapi anda telah melakukan tiga kesalahan. Pertama, Allah berfirman, Wa la
tajassasu..."jangan kamu (mengintip) mencari-cari kesalahan orang
lain" (al-Hujurat: 12). Wa qad tajassasta (dan Anda telah melakukan tajasus).
Kedua, "Masuklah ke rumah-rumah dari pintunya" (Al-Baqarah 189)
dan Anda sudah menyelinap masuk.
Ketiga, anda sudah masuk rumah tanpa izin, sedangkan Allah telah
berfirman, "Janganlah kamu masuk ke rumah yang bukan rumahmu sebelum kamu
meminta izin..." (An-Nur 27) Umar berkata, "apakah lebih baik
disisimu kalau aku memaafkanmu?" Lelaki tersebut menjawab, "ya".
Lalu Umar pun memaafkannya dan pergi dari rumah tersebut.
Sekarang tengoklah tingkah laku
kita. Bukankah Kita lebih suka mencari kesalahan saudara kita. Bila kita tak
jumpai rekan kita di pengajian, kita tuduh dia sebagai orang yang melalaikan
diri dari mengingat Allah. Ketika kali kedua, kita tak menemui saudara kita
saat sholat jum'at, kita cap dia sebagai orang yang lebih mementingkan urusan
dunia daripada urusan akherat. Ketika kali ketiga kita lihat dia duduk bersenda
gurau dengan lawan jenisnya, mulai kita berpikir bahwa saudara kita tersebut
telah terkunci mata hatinya.
Dengan tuduhan dan prasangka
seperti itu, boleh jadi kita telah melakukan beberapa kali kesalahan yang lebih
banyak dibanding saudara kita tersebut.
Mengapa tidak kita dekati dia
dan kita tanyakan sebab ia tak muncul di pengajian, siapa tahu isteri atau
anaknya sakit saat itu. Tanyakanlah secara baik-baik mengapa ia juga tak hadir
di saat sholat jum'at, siapa tahu saudara kita tersebut terserang penyakit atau
sedang ditimpa musibah. Ajak ia bercerita mengapa ia bersenda gurau berlebihan
dengan lawan jenisnya, siapa tahu itu adalah keponakannya sendiri yang sudah bertahun
lamanya tak bertemu dengan dia.
Pendek kata, berpikir positif
dan menghilangkan praduga itu jauh lebih mulia dibanding hanya mencari-cari
kesalahan orang lain. Siapa tahu justru saudara kita tersebut lebih mulia di
sisi Allah dibanding kita....
Abah saya pernah bercerita
tentang Abu Yazid al-Busthami. Konon, ketika Abu Yazid al-Busthami, seorang
sufi besar, hendak berangkat memancing, putrinya bertanya, "bukankah Allah
akan menyediakan rezeki pada kita? mengapa kita harus memancing?" Abu
Yazid berkata, "engkau benar". Ketika ia masuk kembali ke dalam rumah
ditemuinya makanan telah tersedia di meja. Begitulah seterusnya bertahun-tahun,
entah dari mana datangnya makanan itu. Kemudian, putrinya wafat. Sejak saat itu
tak lagi didapati makanan di rumah tersebut. Abu Yazid terkejut, semula dia
menduga makanan itu datang karena kealiman dan kedekatan ia pada Allah,
ternyata makanan itu diberikan Allah karena kedekatan putrinya pada Allah.
Ternyata putrinya lebih tinggi kedudukannya dibanding dirinya. Sejak saat itu,
mulailah Abu Yazid memancing lagi....
Subhanallah! Maha Suci
Allah...Kami tak tahu siapa yang lebih mulia dan tinggi kedudukannya di
sisi-Mu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar