Oleh Dr. Zaim Elmubarok, S.Ag, M.Ag
Kebaikan (kewajiban) ada dua ; kebaikan primer dan kebaikan sekunder. Jika
memakai jilbab itu kebaikan atau kewajiban bagi seorang muslimah dihadapan
non-mahromnya, maka jilbab itu sendiri boleh ditanggalkan didepan mahromnya terutama
suami dan anaknya. Jika puasa, zakat dan haji itu kewajiban atau kebaikan bagi
yang mampu melaksanakannya. Maka ketiga ikon Islam tersebut boleh ditinggalkan
bagi yang tidak mampu melakukannya. Akhirnya, jika zikir itu kebaikan maka kita
dilarang menyebutkan asma Allah di dalam WC.
Rumusnya jika kebaikan atau kewajiban tersebut masih bisa ditawar maka
kebaikan itu adalah sekunder. Jilbab tidak selamanya wajib, puasa, zakat dan
haji tidak jauh berbeda. Semua
itu boleh tidak dilaksanakan kaum muslimin selama ia memang tidak bisa
dilaksanakan. Namun ada sebuah kebaikan atau kewajiban Islam yang harus dilaksanakan anywhere, anytime. Ia harus tetap
dipertahankan oleh laki-laki dan perempuan yang muda atau yang sudah tua,
dihadapan mahrom atau tidak, didalam mesjid atau di WC. Bahkan ketika maut menjemput sekalipun, ikon ini
harus dipertahankan. Inilah tauhid, inilah kebaikan primer, ia harus
dipertahankan sampai kapanpun, dan dimanapun. Inilah yang diucapkan oleh Nabi Ibrahim : Inna sholati wa nusuki wama yahya wama
mamati lillahi rabbil ‘alamin. (Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku
bahkan matikupun hanya karena Allah, Tuhan semsta alam).
Ketika Bilal disiksa oleh Abu
Jahal cs., ia hanya berguman satu kata : Ahad, ahad, ahad. Ia tidak tahu siapa
Allah, ia belum mengenal ilmu tauhid, ia belum sempat belajar teologi, ia
bahkan tidak tahu beda antara Rahman dan
Rahim. Tapi perilaku Bilal adalah
monotheis sejati. Setiap siksaan yang ia terima disambut dengan ucapan
ahad. Ia sudah siap dengan kalimat itu
andai ajal menjemput sekalipun.
Kita harus mencontoh bilal, kita harus mampu mengaktualisasikan konsep
tauhid mulai dari kita hidup sampai mati. Bilal sendiri seolah-olah mengajarkan
kepada kita : Siapapun anda dan apapun profesi anda tancapkanlah ‘ahad”
(tauhid) dalam hati anda yang paling dalam, anywhere, anytime. Tauhid tidak bisa ditawar-tawar, ialah
yang membedakan antara seorang muslim dan musrik. Seluruh Nabi dan Rasul
membawa inti ajaran yang sama yaitu : Tauhid.
Seorang sahabat menghadap Rasul dan mengaku bahwa dirinya sudah berzina.
Dan minta dihukum rajam. Awalnya rasul tidak percaya, namun akhirnya percaya
setelah sahabat tadi datang tiga kali berturut-turut. Ketika rajam dilaksanakan
ada seorang sahabat yang melempar batu sambil menghina. Maka rasulpun menegur :
Jangan berbuat seperti itu karena dosanya sudah diampuni. Akhirnya sahabat itu
gugur dalam syariah Islam.
Yang patut diancungi jempol bahwa sahabat tadi lebih memilih Islam sebagai
landasan hukum ketimbang hukum yang lain, dan memilih Rasul sebagai hakim
daripada hakim lain. Diatas segalanya ia lebih memilih Allah diakhir hidupnya
daripada tuhan yang lain. Jika kita menelusuri al-Quran, dalam bentangan surat
al-Nisa’ : 65 disebutkan : “Maka demi
Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu
hakim dalam suatu perkara, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati
mereka terhadap keputusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan
sepenuhnya. Sikap orang tadi adalah sikap tauhid walaupun statusnya penzina.
Ketika para penyihir Firaun kalah tarung dengan mukjizat Musa. Mereka
langsung sujud dan menyatakan beriman kepada Tuhan Nabi Musa dan Nabi Harun.
Firaun murka dan menghukum mati mereka. Para muallaf tersebut ketika mati hanya
membawa konsep tauhid sebagai bekal menghadap ilahi. Mereka belum sempat
beribadah, mereka tidak sempat shalat, puasa dan berbuat kebajikan lain.
Ibaratnya, mereka masuk Islam jam 08.00 pagi, shubuh sudah lewat dan dihukum
jam sebelas jelang siang, dhuhur belum datang. Tapi simaklah apa komentar
al-Quran terhadap mereka : bagi mereka surga ‘Aden yang mengalir dibawahnya
sungai-sungai, dan mereka kekal di dalamnya (QS Thoha :76) Wallahu ‘a’lam bis showab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar